Sebuah imbauan mengejutkan datang dari Ketua Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (Aperssi), Ibnu Tadji. Ia menyarankan masyarakat menunda membeli apartemen atau rumah susun untuk dijadikan hunian.
Alasannya, banyak permasalahan di rumah susun karena lemahnya peraturan yang melindungi konsumen. Konflik kerap terjadi antara pemilik atau penghuni apartemen dan pihak pengelola yang ditunjuk oleh Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS).
Sebab, banyak PPPSRS itu sesungguhnya hanyalah kepanjangan tangan dari pengembang atau developer. “Kerapuhan itu mulai dari PPPSRS dikuasai pengembang. Mereka menentukan iuran yang angkanya berasal dari pengembang, tanpa transparansi.
Konsumen tak bisa apa-apa,” ujar Ibnu di kediamannya, di kawasan Senopati Jakarta Selatan, pekan lalu. Ibnu sendiri telah berkali-kali memperjuangkan haknya sebagai pemilik apartemen. Berkat kepiawaiannya, ia berhasil memenangkan empat gugatan kepada pengelola apartemen Bumimas Jakarta.
Dua di antaranya merupakan gugatan perdata oleh pemilik apartemen terkait listrik, air dan iuran. Dua gugatan balik yang dialamatkan kepadanya, juga tidak diterima oleh pengadilan.
Apa yang kerap dikeluhkan penghuni rumah susun?
Pada dasarnya konsumen ingin rasa aman, yaitu pengembang menepati janji seperti yang diiklankan. Kenyataannya, janji tersebut tak dipenuhi.
Pemerintah belum mampu menjaga pengembang untuk memenuhi janji, meski ada Undang-Undang baru yang menyatakan developer harus menjual sesuai yang dijanjikan. Rencana rusunami itu gagal total, karena pemrakarsanya Jusuf Kalla dulu mementingkan pembangunan fisik ketimbang paralel antara fisik dan non-fisik, seperti perundang-undangan, aturan, pembenahan sumber saya manusia (SDM) dari pusat sampai daerah.
Pembangunan fisik diutamakan, tetapi di dalamnya rapuh, penghuni terzalimi. Itu yang sampai sekarang kami tak bisa atasi.
Apa yang dimaksud rapuh itu?
Kerapuhan itu dari sisi penghunian, mulai dari PPPSRS dikuasai pengembang. Mereka menetapkan iuran yang angkanya juga berasal dari pengembang. JIka tidak bayar, air dan listrik bisa dimatikan.
Jadi, semua apa kata pengembang, termasuk membuat AD/ART. Pemerintah tak bisa intervensi, malah ikut menjadi bagian. Makanya ada kasus seperti di apartemen Cempaka Mas. Mereka berontak, tetapi polisi tidak bisa berbuat banyak.
Apa peran pemerintah?
UU No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun itu sudah terlambat, karena rumah susun sudah ada di mana-mana.
UU itu menurut saya tak layak. Contohnya pasal 75 ayat 1, yaitu pengembang wajib memfasilitasi pembentukan PPPSRS. Padahal, seharusnya mereka tak usah ikut campur lagi. Jadi, tak usah diberi pintu masuk. Selain itu, pada pasal 74 disebutkan, konsumen wajib membentuk PPPSRS.
Kalau tidak, maka akan dikenai sanksi. Persoalannya posisi pengembang selalu superior di sana. Pengembang bisa sajamengatakan, saya tak mau memfasilitasi tahun ini dan konsumen bisa dihukum.
Jadi, yang ideal bagaimana?
Kami selalu menganjurkan pemerintah untuk menyelesaikan Peraturan Pemerintah dan membuat kajiannya. Harusnya, yang memiliki kewajiban membentuk PPPSRS itu konsumen. Sedangkan yang memfasilitasi adalah pemerintah.
Tentang pengurus PPPRS sendiri?
Banyak kejadian, pengelola di sebuah apartemen menjadi pengelola apartemen lain. Seolah-olah, ini menjadi profesi. Logikanya, jika seseorang tinggal, maka tidak mungkin dia tinggal di dua tempat sekaligus.
Jadi, keabsahan pengurus PPPRS harus dibuktikan dengan KTP dan Kartu Keluarga tempat tinggal.
Apakah di awal pembelian, biaya-biaya yang akan dikenakan kepada konsumen dijelaskan?
Tidak jelas. Bahkan ada yang menggunakan dolar. Jika pengelola tiba-tiba menaikkan biaya, bisa apa konsumen? Mau mengadu ke PPPSRS tidak bisa, karena menjadi bagian dari pengelola. Kenaikan biaya itu tanpa disertai pengeluaran terperinci. Jadi, hanya ketetapan sepihak dari pengelola.
Masalah listrik juga dikeluhkan penghuni…
Di dalam aturan apartemen (house rules) ditulis siapa yang tak bayar Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL), maka listriknya diputus. Ini aturan yang tak ada peraturannya. Harusnya jelas dulu duduk perkaranya.
Apakah pengembang memiliki hak untuk memutus listrik? Apa tidak disebut kriminal? Apa tidak ada cara lain untuk mematikan hajat hidup orang banyak? Kalau memang IPL masalahnya, tinggal dibawa ke ranah hukum saja. Tetapi pengembang tidak mau melakukan itu, cari cara yang mudah.
Bagaimana penentuan tarif listrik?
Pengembang bisa seenaknya menentukan tarif listrik. Tetapi, siapa yang mau melakukan tindakan koreksi kepada pengembang? Contohnya selama ini PLN mengatakan, hanya bertanggung jawab hingga gardu induk saja. Setelah itu menjadi urusan internal. Semua kabel yang mengalir, termasuk meteran, seharusnya dikuasai PLN. PLN juga tidak tahu tarifnya sampai ke pelanggan berapa.
Permasalahan apa lagi yang kerap dihadapi konsumen?
Masalah tanah. Kami sudah berpengalaman bahwa pengembang itu maunya menjual, lalu pada akhirnya menguasai kembali. Jadi yang dijual itu bisa dikatakan pura-pura saja dijual. Tetapi mereka sudah memiliki skenario jangka panjang untuk menguasai kembali.
Ini terkait masalah Hak Guna Bangunan (HGB)?
Iya, ketika HGB diperpanjang, seharusnya sudah dibalik-nama atas nama PPPRS, karena pengembang kan sudah menjual. Tetapi ketika diperpanjang, ternyata diatasnamakan pengembang agar praktis. Ini kan lucu, tetapi dipaksakan. Dan anehnya, hukum di Indonesia mengakomodasi itu.
Contohnya?
Di Roxy Mas, properti di sana sudah dijual ke pembeli 20 tahun lalu. Ketika HGB akan diperpanjang, diatasnamakan kembali kepada pengembang, yaitu Duta Pertiwi. Itu digugat ke pengadilan, anehnya hingga persidangan Mahkamah Agung, dinytakan tidak apa-apa. Padahal, bangunan itu umurnya terbatas, sedangkan tanah itu tak ada batasannya.
Misalnya 50 tahun lagi bangunannya harus dihancurkan. Jika dihancurkan, tanahnya milik siapa? Kalau atas nama pengembang, berarti pengembang yang berhak semuanya. Mengurus desain dan IMB, terserah pengembang.
Langkah apa yang perlu segera dilakukan pemerintah?
Perbaiki Undang-Undangnya. Jangan beri kesempatan bagi pengembang masuk PPPRS. Jika itu terbukti, maka harus dihukum. Buat saja peraturannya. Semua serahkan kepada penghuni. Sekarang ini penghuni tidak bebas. Membuat pengumuman tidak diperbolehkan. Kehidupan non-fisik secara komunal di rumah susun hilang.
Tips bagi konsumen yang akan membeli apartemen?
Untuk saat ini, kami dari Aperssi tidak menganjurkan masyarakat umum untuk membeli apartemen atau rusun sampai aturannya jelas. Kecuali untuk sewa di apartemen, karena sewaktu-waktu bisa keluar. Tetapi kalau membeli, tidak saya anjurkan karena tidak ada perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen. Mulai dari PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual-Beli), PPPRS hingga berbagai aspek lainnya, tidak ada yang menyelesaikan. Sudah terbukti banyak permasalahan yang dikeluhkan.
Jadi, lebih baik menahan diri dulu untuk tidak membeli apartemen dulu.
Bukankah investasi properti, termasuk apartemen, amat menjanjikan?
Kalau untuk investasi, boleh saja, karena tidak selalu dihuni pemiliknya. Investor sudah mengukur keuntungannya. Investasi silakan, sepanjang sesuai dengan ketentuan.
Suara konsumen kerap tak terdengar…
Banyak konsumen yang skeptis, tetapi lebih banyak yang takut. Tidak berdaya.
Cara terbaik penyelesaian sengketa?
Yang paling baik, ada pengadilan singkat. Misalnya, dalam waktu tiga hari sejak pengaduan, langsung sidang. Selama proses pengadilan, pengelola tak boleh menghilangkan hak-hak penghuni, seperti pemadaman listrik. Jika konsumen menang, maka pengembang harus mengembalikan uang dan denda. Itu akan membuat pengembang takut dan tidak bisa sewenang-wenang.
Kesalahan utama berasal dari kurangnya SDM yang mumpuni. Akibatnya, pembuat peraturan perundang-undangan pun tidak mumpuni.sumber : KATADATA